Wednesday, October 5, 2016

Ada Hal Yang Tak Perlu Diungkapkan

Publik tercengang, seorang profesor diberitakan mengimani tahayul. Seorang akademisi dan tokoh publik dianggap sesat dan berpemikiran menyimpang karena meyakini hal-hal yang tidak logis. Nama Marwah yang berarti kehormatan itu sudah tak lagi bermarwah, karena lakunya dianggap ganjil oleh publik. Tapi bagi saya, hal itu adalah fenomena lumrah dimana setiap manusia punya tafsir di kepalanya, dan keseragaman tafsir itu berbuah kebenaran atau mungkin juga pembenaran, karena kata benar sendiri bermula dari sebuah ketidakjelasan yang diamini secara bersama-sama.
Mungkin Tiga kata dari Tuhan yang masih misteri bisa mewakili hal-hal yang ingin kuungkapkan dalam tulisan ini. Alif Lam Mim. Tiga kata yang enam kali disebut dalam kitab suci, dan tidak satupun manusia hingga kini mampu memberikan penjelasan secara utuh terkait kalimat Tuhan itu, selain hanya tafsir yang bermuara pada multi-tafsir. Karena tafsir adalah narasi kata, dan Kata-kata memang punya keterbatasan. Kata-kata tak bisa menginterpretasikan seluruh dari pengalaman empirik manusia, juga penerima wahyu. Seperti halnya kita meminum kopi kemudian bercerita tentang kopi, pasti ada bagian yang sulit kita jelaskan untuk mensejajarkan pengalaman apa yang kita rasa dengan orang yang hanya mendengar pengalaman kita "mencicipi" rasa itu. William James menyebutnya, wahyu dan pengalaman religius itu hanya bisa dirasakan secara utuh oleh mereka yang mengalami, dan ada hal-hal yang tak pernah utuh ketika subjek yang mengalami dan merasakan, itu harus menjelaskan kembali bagaimana rasa yang muncul di dalamnya. Dan penjelasan atas pengalaman itu, tidak lain adalah tafsir naratif. Sejatinya orang yang sedang menjelaskan pengalaman religiusnya ke pihak lain, secara tak sadar Ia sedang memulai sebuah tafsir. Mencoba menterjemahkan rasa pada kata-kata yang terbatas itu. Sehingga muaranya akan menjadi sebuah tafsir, dan bernasib sama seperti tafsir pada umumnya; memicu perdebatan, multi-tafsir. Memang selayaknya hal-hal yang berbau tafsir menjadi bagian dari individu yang harus dihormati, dan tak perlu diceritakan karena bisa memunculkan perdebatan. Karena publik dan orang yang tak merasakan belum tentu mampu menerima penjelasan yang tak mungkin utuh dinarasikan dalam bahasa manusia. Bayangkan jika Nabi Ibrahim mengabarkan ke seluruh penduduk Kota bahwa dirinya mendapat perintah dari Tuhan untuk menepati janjinya; memberikan apapun yang membuatnya dekat dengan Tuhan, bahkan jika harus menyembelih anaknya? Jika kabar itu tersiar, atau Ibrahim tak memilih diam, mungkin kisah Arofah itu tak pernah terlaksana, karena dijamin Ibrahim akan dihalang-halangi seluruh penduduk. Ibrahim akan dicap melakukan laku yang ganjil. Bagaimana mungkin seorang bapak yang merindukan kehadiran anak, begitu dianugerahi anak, dia malah menyembelihnya. Sehingga pilihan Ibrahim untuk tak menceritakan pengalaman religiusnya mendapat perintah Tuhan kecuali pada anaknya sebagai objek yang akan disembelih (QS. Ash-Shoffat 102). Bahkan istrinya, Hajar, juga tak mengetahui rencana penyembelihan itu. Kemudian diceritakan, keduanya saling berserah. Bahwa ada perintah yang tak mungkin dijelaskan, tapi perintah itu harus dilakukan. Hingga akhirnya prosesi penyembelihan itu terjadi. Dan Tuhan datang dengan pertolongannya, memerintahkan seluruh malaikat untuk menyaksikan ketulusan Ibrahim dan Ismail dalam mendapat keridoanNya. Pisau yang tajam itupun tak mampu menebas leher Ismail, dan Jibril datang membawa seekor domba besar sebagai penggantinya. Tapi apakah pengalaman religius seperti ini bisa diceritakan ke publik secara utuh dijamannya? Itu butuh waktu, butuh situasi yang tak biasa. Karena cerita adalah interprestasi dari pengalaman, namun narasi yang muncul disana, sejatinya adalah tafsir yang mungkin saja berbeda dari apa yang sebenarnya. Bahasa memang bisa mendramatisir situasi, tapi bahasa tidak akan utuh menjelaskan semua, seperti halnya tafsir; selalu ada ruang 'perdebatan' di dalamnya. Kita meyakini dan menaruh harapan pada bahasa. Karena Ia adalah perekam satu-satunya. Karena itu, catatan ditulis, kejadian didokumentasikan, pengalaman dinarasikan, tapi satu hal yang sering kita lupakan, catatan dan narasi itu tak lebih hanyalah sebuah tafsir yang tak mungkin menjelaskan secara utuh apa yang sebenarnya terjadi disana, yang menyangkut "rasa" dan "iman". Sesuatu yang sulit di deskripsikan dengan bahasa manusia. Aku ingat tempo hari mendapat pernyataan dari kawan yang merasakan kekecewaan, "Mereka tak dapat melihat secara utuh apa yang kurasakan hari ini, seperti halnya engkau lihat seseorang yang mengiris urat nadinya. Engkau yang melihat hanya memiliki ruang untuk menjelaskan dengan kata-kata, apa yang teriris dan bagaimana darah mengucur di sana, sementara yang tahu bagaimana rasa sejatinya adalah dia yang teriris, meskipun Ia juga tak mungkin menceritakan secara utuh apa yang dirasa, karena bahasa punya keterbatasan," atau dengan kata lain, ada pengalaman-pengalaman yang tak mungkin diceritakan bahkan mungkin tak perlu dijelaskan, cukup dirasakan sendirian. Disanalah kearifan diuji, disana kerendahatian dipraktekkan. Ada hal yang cukup diceritakan dengan jalan diam.

No comments:

Berita Batam