Wednesday, October 5, 2016

Tahar Djaout, Melawan dengan Pena

Pria berkacamata itu kini menghembuskan nafas terakhir setelah sepekan berusaha melawan maut di pembaringan rumah sakit. Luka tembak yang membuatnya koma ternyata berhasil merebut nyawa dari tubuhnya. Beberapa waktu sebelumnya, Ia adalah orang yang dianggap paling berbahaya oleh kelompok bersenjata di Al Jazair. Kini, 23 tahun, nama Tahar Djaout tidak pernah dilupakan bagi mereka yang berjuang dalam misi kemanusian. Saya tidak tahu, apakah para pembantai lalai memperhitungkan efek martir ini, ataukah mereka hanya tidak ambil pusing hal-hal seperti itu.
Tahar Djaout adalah manusia yang resah di jamannya. Ia kecewa melihat kenyataan negerinya yang memandang bahwa hidup adalah keseragaman. Bahwa pandangan tauhid adalah doktrin yang mutlak harus ditaati, tanpa perdebatan bahkan tak memberikan ruang kecil pun untuk mereka melakukan penyangkalan. Agama dijadikan dasar untuk menindas dan mempraktekkan kekerasan. Meskipun Tuhan berseru tentang cinta kasih dan kedamaian, memberi ruang kemerdekaan bagi manusia untuk menggunakan akal dan sisi manusia yang dimilikinya. Pria yang berprofesi sebagai penulis itu sudah menerbitkan beberapa karya yang menyidir persoalan intoleran di negerinya. Hingga, Ia dan pena-nya dianggap sangat berbahaya bagi eksistensi kelompok tertentu. Tepatnya 23 Mei 1993, segerombolan orang bersenjata membrondong tubuh Tahar Djaout sesaat setelah Ia meninggalkan rumahnya di Benheim. Kejadian ini pun menjadi inspirasi bagi Salman Rushdie untuk membuat sebuah film dokumenter yang diberi judul "Shooting the Writer". Film dokumenter yang dipopulerkan BBC itu sontak membuka tabir bagaimana kekuasaan, pengaruh politik, menggunakan doktrin agama untuk melakukan kekerasan. Mereka membenarkan pembunuhan untuk menghapus yang "liyan" dan tak sama. Tahar dituding menjadi antek Sekulerisme dan itu berarti dia adalah bagian dari hal-hal yang dianggap "Barat". Tahar yang menyuarakan kemanusiaan justru diposisikan sebagai penjahat yang paling berbahaya. Tulisan-tulisan yang menyadarkan, yang lahir dari tangannya ditakutkan menjadi bom waktu yang suatu saat akan memberikan ancaman. Kemudian, para tokoh agama membuat fatwa bahwa Tahar Djaout telah memainkan pena yang berbahaya. Fatwa itu juga yang menjadi dasar pembenaran pembunuhan Tahar Djaout. Tapi sekali lagi mereka lupa, bahwa opini publik tak selalu bisa dibendung. Mereka yang mati bisa berposisi menjadi martir yang akan memperbesar gelombang penyadaran. Atau meminjam istilah Widji Thukul, kata-kata itu tak bisa dipenjarakan. Ditengah berbagai ancaman, Tahar Djaout tetap meyakini bahwa Diam adalah kematian. Karena itu, goresan tangannya menjadi penyulut semangat bagi rakyat Al Jazair yang menginginkan Islam tampil lebih manusiawi. Bukankah cara sejati menghormati Tuhan adalah dengan bertindak secara moral. Atau dengan kata lain, bertindak secara moral adalah dengan jalan menghormati segala perbedaan, menghormati mereka yang berfikir beda dengan kita. Dan saya yakin Tuhan sendiri akan menemui banyak penolakan jika membuat manusia berlaku kejam, mudah menghakimi, menghukum dan menyingkirkan, berbuat sesuatu yang jauh dari fitrah kita sebagai manusia. Dalam kegelisahan, dia menulis Novel berjudul Le Dernier'ete'de la Raison, yang bercerita tentang manusia-manusia yang bertindak laksana Tuhan. Sementara Boulem Yekker tokoh utama dalam novel ini memilih mengurung diri dalam toko buku miliknya. Sembari menyaksikan para aktivis Ikhwanul melakukan tindakan membabi buta. Membakar rol-rol film, merobohkan patung-patung dan mencabik lukisan dengan alasan sederhana; tak boleh ada yang berhak menandingi keindahan Tuhan. Tapi sayang, novel ini tak pernah ada yang tahu akhir ceritanya, karena Taher Djaout diberondong sebelum Ia berhasil menuntaskan karyanya. Penulis: Nurfahmi Magid 30 September 2016

No comments:

Berita Batam