Sunday, November 4, 2012

Nasib TKI Wajah Sekaligus Pantat Kita


"TKI On Sale!" begitu bunyi iklan yang memalukan itu. Entah, siapa yang menyebarkan lembaran promosi yang lebih mirip pamplet itu, hingga akhirnya kita pun terpancing dan lansung menterjemahkan kejadian ini sebagai tindakan arogan sebuah negara, tanpa melihat latar belakang dan kemungkinan-kemungkinan lainnya. Ini bukan tindakan perorangan, tapi tindakan Malaysia. Begitulah kita menyimpulkan.


"Mereka telah menginjak-injak harga diri Bangsa!, pemerintah harus segera ambil sikap tegas," begitu respon sejumlah politisi Senayan yang seolah tak mau ketinggalan menarik simpati dari persoalan ini. Seolah berfikir, akulah yang paling pro-rakyat. Padahal mereka sadar, sikap itu justru makin memperuncing persoalan. Apalagi jika terus diumbar tanpa melihat akar sebenarnya. Adalagi yang menderek ke belakang, dimana data-data kekerasan terhadap TKI mulai dibeberkan. Namun, jika boleh kembali bertanya;

"Kenapa Saudara berbicara seolah sedang memperjuangkan harga diri? bukankah anak bangsa ini telah kehilangan itu semua!". Bagaimana kita membuktikan bahwa Indonesia memiliki harga diri tinggi ketika buruh pabrik sepatu di Jawa Timur yang setiap hari dipaksa membuat 40 pasang sepatu merek terkenal, namun gaji yang diterimanya dalam sebulan tidak cukup untuk membeli sepasang sepatu buatannya sendiri.

"Kenapa bicara harga diri harus jauh ke negeri Malaysia, di Indonesia ribuan penindasan harga diri tak pernah mampu kita selesaikan. Anda pejuang anti kekerasan? tak perlu melongok jauh ke Malaysia. Kekerasan yang lebih besar tingkatannya dibanding kekerasan fisik di negeri ini masih terus menerus dilakukan.

Kita semua sadar, apa yang menimpa saudara-saudara pekerja Migran di Malaysia harus kita perjuangkan. Namun disaat yang sama, kita juga tidak boleh lupa, bahwa mencari akar persoalan sesungguhnya adalah tugas yang jauh lebih besar dan tidak boleh ditinggalkan. Ibarat menyembuhkan luka, selama ini kita hanya melihat goresan yang menganga dan selalu berusaha menutupnya. Asal tak terlihat, dan biarlah soal kesembuhan diurus belakangan. Dan itu salah tentunya.

Apa yang dialami para pekerja Migran di Malaysia adalah angka 9 dari 1,2,3, yang selama ini selalu didiamkan. Kejadian itu tak luar biasa, karena hanya akumulasi dari kejadian-kejadian lain yang senantiasa kita maklumi. Nasik mereka adalah wajah kita sekaligus pantat kita.

Lihat saja, setiap saat, ketidakadilan terus kita pupuk di seantero negeri ini. Kekayaan alam yang sedemikian banyak kita shodaqoh-kan ke kapitalis asing yang rakus. Jika perlu konsensi eksplorasi sumberdaya kita perpanjang sampai beberapa generasi lagi, asal kecipratan hasilnya. Kita habisi saudara kita yang berjuang dalam idealismenya. Jangankan bicara masa depan di Indonesia, bicara hari esok saja kita sudah diliputi perasaan was-was dan penuh ketidakpastian.

Hal itu juga yang mendorong saudara kita yang memiliki mental pemberani harus berjuang di negeri orang. Mereka mengambil posisi sebagai martir devisa sekaligus martir dari teriakan-teriakan perutnya sendiri yang tak terjamin lepas dari rasa lapar. Meski harus bertaruh dengan hal-hal yang lebih besar; pelecehan, kekerasan, bahkan penindasan terhadap harga dirinya sebagai manusia secara utuh. Namun bagi mereka (buruh Migran) itu adalah konsekuensi bukan dari perjuangan tapi dari keterpaksaan. Kata terpaksa menjadi satu-satunya alasan yang tak terbantahkan.

Kondisi inilah harus segera dirubah. Dan itu membutuhkan diskursus yang panjang. Mari sedikit kita derek ke belakang, kondisi obyektif mental Indonesia, mental masyarakat dan bangsa Indonesia saat ini, tidak lain merupakan hasil dari disain peradaban berabad-abad lamanya. Bahkan bisa dikatakan, kita saat ini sedang berada di puncak ketidak-mengertian atas diri kita sendiri dalam multi-konteks, sehingga tidak memiliki landasan ilmu dan pengetahuan yang memadai untuk melakukan kebangkitan dan pembangunan apapun yang menyangkut dirinya sendiri.

Dengan ganti kepemimpinan berapa kalipun, dengan pilihan ideologi kenegaraan apapun, pembangunan dan kebangkitan yang diselenggarakan tetap akan membuat rakyatnya kecele, jika penelitian atas dirinya sendiri itu tak segera dilakukan.

Begitu banyak kelemahan, contoh kecil berbicara soal hukum dan keadilan. Sesungguhnya Bangsa Indonesia tidak punya kosakata untuk ‘hukum’ dan ‘adil’. Keduanya kita import dari bahasa Arab. Kalau ternyata ada, entah dari bahasa Melayu, Jawa, Sunda, Bugis, Madura, Batak atau manapun, saya mengusulkan dua kata itu segera diganti dengan milik kita yang asli, agar kita punya pondasi pemahaman hukum dan keadilan yang mantap dan relevan dengan sejarah kita sendiri. Sebuah pijakan utama menuju pintu kesejahteraan.

Yang kita punya hanyalah kata ‘laras’. Kemudian mendapat imbuhan menjadi, Selaras. Dan yang kita bangun adalah keselarasan. Tak apa mencuri, asalkan mekanismenya bisa diselaraskan. Kita korupsi bareng-bareng di tempat masing-masing, dengan kesepakatan bahwa semua kita sama-sama menjaga keselasaran. Kondusifitas menjadi ukuran utama.

Kata budayawan Emha Ainun Najib, "Di Indonesia itu, pemimpin bangsa adalah Kepala Pemelihara Keselarasan Nasional. Siapa harus dihukum dan siapa harus dipertahankan, pedomannya adalah mempertahankan keselarasan yang sudah terlanjur dibangun dan diformasikan, bukan obyektivitas hukum atau keadilan". Maka dari itu, kekerasan, penindasan harga diri, jika dilakukan oleh penguasa bangsa sendiri harus tetap dijaga, kalau perlu diberikan maklum. Asal sebagian besar lainnya tetap selaras.

Zaman dulu ummat manusia dijajah oleh mithologi tentang aristokrasi Raja-Raja. Kemudian dijajah oleh serbuan tentara dari mancanegara. Periode selanjutnya dijajah melalui ekonomi dan pasar. Kemudian melalui pikiran dan perasaan. Dan sekarang semua formula imperialisme dan kolonialisme itu dipakai kapan saja dan mana saja yang relevan dan effektif. Kemarahan dan kebencian bisa saja dimunculkan, kapan saja dan dengan pemicu apa saja, termasuk apa yang terjadi antar Indonesia dan Malaysia.

Tuhanku, komandanku, siapapun engkau, reformasi negeriku terbukti telah gagal membawa perubahan selain makin bertambahnya penderitaan, jumlah kemiskinan terus meningkat, petani makin sengsara, buruh terpuruk dan terpinggirkan, krisis moral makin mencapai titik klimaks, pemilu demi pemilu tak membuat perubahan selain nama-nama wakil kami yang mungkin tak pernah mewakili secuil dari kata-kata serak ini, -problem besar itu belum mampu kami atasi, dan kini aku harus menulis soal penderitaan lagi, soal kemarahan bangsa ini pada tetangga sebelah.

(Magid, November 2012)

No comments:

Berita Batam