Friday, July 5, 2013

Ketika Kebenaran (Hanya) Jadi Rebutan

Amir Hamzah pernah mengemukakan kegusarannya pada ajaran Tuhan lewat puisinya. Ia berkata, "Engkau Cemburu!" seakan menudingkan jari telunjuknya ke langit sembari melawan sabda tuhan yang menuliskan tentang aturan dan garis hidup manusia.

Ia menilai aturan yang diberikan Tuhan lewat ajaran agama telah membatasi setiap gerak-gerik manusia. Di satu sisi Tuhan memberikan kebebasan kepada manusia, tapi satu garis lurus telah dibuat; barang siapa tidak memenuhi apa yang diperintahkan, maka akan muncul punishment di kemudian hari. Tuhan cemburu, maha memaksa.
Saya teringat seorang kawan, dia ceritakan kepada saya pendapat tendensiusnya, bahwa penyerangan Afganistan, Irak, dan beberapa negara muslim Timur Tengah adalah cara kaum "Kristen Amerika" untuk melakukan kristenisasi. Ditempat lain, seorang kawan yang kebetulan penganut Kristen berpendapat, desakan kelompok garis keras untuk memakai hukum Islam di Indonesia merupakan salah satu ciri Islamisasi yang merugikan golongan minoritas Kristen.
Sementara itu, disana, di belahan dunia lainnya, mungkin kondisi yang sama tak berubah. Ketika hidup dalam golongan minoritas mereka akan merasa bahwa gesekan terjadi begitu derasnya; bahwa yang cemburu bukan hanya Tuhan, tapi juga manusia. Sungguh dahsyat perebutan pengaruh atas sebuah kepercayaan yang akan mereka rasakan. Di sana mental diuji, disana kebenaran dipertimbangkan, di sana iman akan tersaji seperti potongan puisi; melankoli.
Dalam bukunya yang terkenal 'The Island of Bali'  Miguel Cavarrubias, pernah menceritakan kondisi tragis itu. Buku terbitan tahun 1937 yang di tulis langsung oleh Miguel Cavarubias, berkisah, seorang Necomandus yang mengalami pahitnya tekanan yang disebabkan gesekan antar agama dalam menanamkan pengaruhnya.
Awalnya Necomandus adalah seorang penganut Hindu, akhirnya masuk Kristen setelah bekerja sebagai pelayan seorang misionaris. Ia di Baptis dan menjadi seorang kristen, namun pilihannya itu akhirnya pupus bersama tekanan yang ada saat itu. Necomandus dikucilkan masyarakat setempat, dan dianggap sudah mati. Akhirnya ia tertekan, dan mengalami guncangan yang cukup besar, hingga suatu ketika tergerak untuk membunuh majikannya sendiri. Ya, Necomandus menghabisi sang majikan yang telah membaptisnya, dan memilih menyerahkan tubuhnya untuk dibunuh secara adat.
Agama dianggap seperti "stempel" yang melebeli siapa yang harus hidup atau mati. Siapa dipertahankan, atau siapa dikorbankan.
Mungkin kebenaran tentang sebuah keyakinan sudah mirip dengan benda yang bisa diakumulasi. Sehingga para pemuka agama, para penganut garis keras, saling berebut pengaruh untuk mencapai kejayaan kelompoknya. Tapi sadar atau tidak, kebenaran dalam keyakinan umat manusia di dunia seperti jalan dalam permainan monopoli. Cukup banyak tikungan, toh semua mempunyai pilihan tersendiri, dan satu dengan yang lain hanya di pertemukan pada satu titik, yakni kebaikan. Sedangkan ratusan titik yang lain, saling bertabrakan dan takkan mungkin bisa dipertemukan.
Seperti sabda sebagian besar Tuhan umat manusia, bahwa agama diturunkan untuk membawa kebaikan. Menyampaikan kebenaran, bahkan ada yang menyebutkan 'Rahmatan Lil Alamin.' Tapi toh masih menyisakan kontradiksi, dimana sejarah tidak bisa kita pungkiri, bahwa agama berkembang seiring dengan kekerasan. Munculnya ajaran agama baru, selalu dibarengi dengan pertumpahan darah. Catatan peperangan. Seperti itukah tuhan membawa kebenaran? Kedamaian yang diciptakan tak ayal hanya sekedar retorika, toh dalam catatan sejarah acapkali agama berdiri diatas segala penderitaan.
Mungkin hal itu juga yang membuat Fredrik Nietze berkesimpulan, Tuhan telah mati, Amir Hamzah berkata Tuhan cemburu, atau bahkan Karl Marx yang beranggapan agama itu mirip dengan candu, memabukkan, meninabobokkan pemikiran manusia. Semua pernyataan itu adalah gugatan terhadap ketuhanan manusia, yang sama sekali bukan tanpa cacat.
Dalam sejarah yang masih terus akan bergulir, kedepan, bisakah agama benar-benar membawa mukjizat-NYa. Kedamaian yang dijanjikan juga akan terasa hampa jika harus mengorbankan kedamaian golongan dan kepercayaan lainnya. Bisakah kedamaian itu terwujud, tanpa ada pertumpahan darah? tanpa ada Kristen satu, Islam satu atau Hindu satu bahkan Yahudi satu? Ya..ketika mayoritas dan minoritas tak lagi saling berebut pengaruhnya. Ketika itu Tuhan tak cemburu dan tak bisa dimonopoli.

Oleh: Nur Fahmi Magid
Penulis adalah Wakil Sekretaris DPW PKB Kepri

No comments:

Berita Batam