Saturday, October 27, 2012

Manusia


Di gedung rakyat itu aku bertemu dia. Sudah lama sepertinya tak berbincang dengan politisi yang satu ini. Meski tak perlu kusebutkan namanya, ia sudah membuktikan bahwa teori-teorinya cukup efektif: nyatanya ia mempertahankan kursinya selama dua periode.

Koran edisi terbaru terlihat terserak di mejanya. Gambar headline demontrasi yang terjadi sehari sebelumnya terpampang di lembaran paling awal.

"Lihat, sampai kapan coba kekerasan seperti itu harus terus dan terus terjadi, sampai kapan persoalan yang muncul selalu kita sikapi dengan kekerasan," katanya sambil menggerutu seolah mengajakku untuk berbicara topik pada halaman koran itu.

Ah, itu hanya sebagian kecil dari kekerasan yang sesungguhnya terus terjadi di negeri ini. Kita miris karena menyaksikan bentuk kekerasan aktual, tapi kekerasan yang tak kasat justru kita pupuk dalam pikiran, meski sebenarnya tingkatnya lebih besar. Kenapa musti heran?

Sesaat dia terdiam sambil menatap raut wajahku yang acuh. "Maksudmu kekerasan yang lebih besar apa?"

Anda seorang wakil rakyat. Seperti yang kami tahu, anda adalah malaikat yang harus berdiri tegak tanpa cacat. Jangankan berbicara soal pemerintahan, bahkan urusan rumah tangga anda pun akan jadi sorotan jika tak berhati-hati mengambil langkah tepat. Termasuk, bagaimana memahami pemikiran kami.

Manusia itu memiliki tiga unsur di dalam dirinya, masing-masing, harta benda, martabat, kemudian hati/jiwa atau pimikiran. Ketiganya sangat rawan dengan kekerasan. Ketika kita mengganggu satu diantara ketiganya, maka sama halnya kita sedang melakukan kekerasan terhadap manusia itu sendiri.

"Lebih sakit mana, anda kena tempeleng atau anda dimaki orang, direndahkan martabatnya di muka umum?"

Selama ini, rakyat Indonesia, kalau mau lebih sempit bahkan khusus kota Batam, terus menjadi korban kekerasan yang besar itu. Kita sama sekali belum sepenuhnya diperlakukan seperti manusia yang bermartabat. Keberadaan sebagaian saudara kita sama sekali tidak dihargai, tempat pemukimannya bahkan dilebeli "Ruli". Saat kampanye mereka dijejali dengan janji-janji palsu yang memuakkan.  Mereka sakit hati dalam berbagai aspek. Ini adalah bentuk kekerasan yang lebih besar dibanding kekerasan fisik.

Disadari atau tidak pertarungan politik praktis adalah bentuk kekerasan. Di sana semua bertarung menjadi yang paling unggul. Tentu saja sebuah keharusnya jika mencari keunggulan selalu disyarati dengan merendahkan dan mengalahkan. Mengungguli atau menggulingkan. Anehnya, itu kita berikan maklum.

"Kalau begitu, sejatinya banyak diantara kita tidak mengenal lagi sisi kemanusiaan yang hakiki, sehingga dengan sadar tetap melakukan kekerasan," katanya mengomentari singkat.

Benar, itu kalimat yang sejak awal tadi saya tunggu. Kalimat yang sama pernah muncul dari penyair terkenal, Kang Sobari. Ia miris melihat kenyataan. Manusia sudah tidak lagi memperdulikan hakikat kemanusiaan orang lain, bahkan juga dirinya. Semua urusan semakin rumit, hingga fokus kita hanya terpaku pada dua hal, untung atau rugi. Dua ukuran yang mutlak tertanam dipikiran kita.

Wong bisa nyolong kok gak nyolong, rugi. Seharusnya dapat tender tapi tidak jadi dapat tender sama dengan rugi. Kalau bisa korupsi kenapa tidak dilakukan, rugi!. Peduli setan dengan orang lain, yang penting kenyang adalah kebenaran. Dewasa ini manusia sudah sangat canggih memalsukan hakekat hidup dengan cara menciptakan berhala-berhala dan melakukan pembiasan-pembiasan nilai dan makna.

Tuhan pun memberikan teka-teki. Dalam sebuah ayat dikatakan, "Manusia adalah khalifah di Bumi". Ya, manusia adalah pemimpin, di alam yang luar biasa ini. Tapi di ayat yang lain Tuhan juga menegaskan, bahwa manusia juga pebuat kerusakan di bumi. Hati kecilku berbisik, kenapa kita diangkat jadi pemimpin padahal disisi lain kita adalah pembuat kerusakan? Kenapa anda tetap merasa jadi wakil rakyat padahal banyak diam melihat rakyat menerima kekerasan yang lebih besar dari sekedar kekerasan fisik?


""Magid-2012""

No comments:

Berita Batam