Monday, July 18, 2011

Ternyata Mereka Lebih Baik Dari Kita...

Hari ini, banyak hal yang kualami. Seorang tukang Bakso membuatku bersemangat menggerakan jari-jariku yang lemah ini di keyboard dan berbagi ke kawan-kawan tentang kisah yang aku alami. Dibalik kesederhanaan yang tampak secara kasat dari si tukang bakso yang kebetulan kuhampiri, aku melihat sebuah filosofi yang lebih maju daripada peradaban manusia lainya yang hari ini kukenal. Dalamnya pemahaman Dia membuat aku malu untuk bertanya, siapa nama si tukang bakso yang mangkal dengan gerobak dorongnya di sekitar Bank BCA Jodoh itu.


Sekitar pukul 12.30 WIB, sehabis bertransaksi di Bank BCA Jodoh, aku berniat meluncur ke arah batamcenter, karena seorang kawan sudah menunggu. Tapi sekeluar dari halaman parkir, kulihat seorang laki-laki tua berumur sekitar 50 tahunan mendorong gerobaknya di pinggir jalan. Lebih karena perasaan iba melihat semangat bapak tua ini, kuputuskan untuk berhenti dan memesan semangkok bakso. "Sekalian untuk ganjal perut sementara, karena kegiatan cukup banyak hari ini," gumamku dalam hati.

Kuajak si Penjual bakso itu berbincang sambil kunikmati menu pengganjal perutku hari ini. Dan kami pun akrab, meski belum saling kenal. Hanya saja rasa penasaran muncul, ketika kubayarkan sejumlah uang, dia memisahkan uang itu di tiga tempat kecil yang terbuat dari kaleng. Mendadak pertanyaan polos meluncur dari bibirku, "Lo, kok duitnya dipisah pak?" si Tukang Bakso menjawab sambil senyum, "Iya Pak, ini kebiasaan saya sejak 12 tahun lalu, saya selalu memisahkan uang yang saya dapat, karena didalam rejeki saya hari ini ada hak keluarga saya, ada hak orang lain dan ada haknya tuhan," jawabnya

"Maksudnya gimana Pak?" tanya ku mulai menjurus, apa sebenarnya dipikiran tukang Bakso ini. "Begini Pak, kaleng pertama adalah hak anak istri saya, sedangkan kaleng kedua saya sediakan untuk cadangan saya beramal jika ada yang membutuhkan suatu saat nanti, dan kaleng terakhir adalah hak Tuhan, saya sediakan untuk tabungan saya naik haji, Insya Allah tiga tahun lagi saya berangkat, semoga saja ongkos ke Mekah tak naik lagi," ujar si Tukang Bakso.

Dengan mimik wajah yang malu, aku termenung menahan haru mendengar jawaban itu. Rasanya sulit untuk berkata-kata, entah ungkapan apa yang layak kuberikan pada Bapak Tua ini. Dibalik kesan sederhana yang Dia tunjukan padaku, ternyata terselip satu pemahaman yang lebih maju, satu filofosi hidup yang beberapa langkah lebih baik dariku. Aku hanya membayangkan, andai saja 45 anggota dewan bersikap seperti Bapak Tua renta ini, Batam akan lebih baik. Menjelang penyusunan APBD-Perubahan, 22 Anggota Banggar DPRD Kota Batam sibuk memikirkan alokasi miliaran anggaran daerah. "Andai saja pak, para pejabat kita, para pengambil keputusan di DPRD dan Pemko, semua diantara mereka yang memiliki kelebihan, bisa berperilaku seperti Bapak, maka takkan ada lagi anak-anak kita yang kesulitan Sekolah, tak ada lagi proyek mangkrak, dan kehidupan semua warga Batam jadi lebih baik," kalimat ini yang kukatakan pada si Tukang Bakso yang kumuliakan itu. Ternyata pujianku itu pun tak diterima mentah-mentah, si Tukang Bakso itu hanya menjawab,"Saya juga belum tentu bisa berlaku begini jika diposisi mereka," jawabnya merendah.

Sikap si Tukang bakso ini membuatku lebih optimis memandang hidup. Bagaimana tidak, ternyata orang baik ada dimana-mana. Mereka ada di gang-gang, mereka ada di kaki lima, mereka ada di pasar, ada dihampir penjuru tempat, meski secara kasat sulit kita temui.

Suatu ketika, tepatnya 8 tahun lalu di Kota Malang, aku pernah bertemu seorang pedagang kopi "emperan" di Pasar Dinoyo. Kariono namanya. Hampir tiap malam, aku datangi mengingat lokasi pasar tak jauh dari tempat Kosku sementara. Tempatnya kotor, kumuh, bahkan tak layak disebut warung. Tapi disinilah aku merasa nyaman, hingga tiap malam kuhabiskan hanya sekedar menikmati teh hangat dan berbatang-batang rokok. Dibalik segala kekuarangan Kariono si pemilik warung itu, ternyata memiliki pandangan hidup yang mulia.

Menjelang hari Sabtu, setelah diskusi dengan kawan-kawan Serikat Perjuangan Mahasiswa (SPM), dengan PD kuajak semua kawan-kawan untuk menemui teman baruku, pedagang pasar Dinoyo ini. Nah, waktu lagi asik nongkrong, diskusi melalar, dari isu Golput sampai masalah Gus Dur yang ingin jadi rektor di Universitaas Darul Ulum Jombang. Menjelang jam 01.00 malam, satu persatu kawan yang hadir pamit. Terakhir, tinggal berdua dengan Hasbullah pemuda asal Bali yang mengaku pernah hidup di Poso saat konflik agama berlansung. Kami pun mau pamit, minta pak Kariono menghitung berapa makanan yang kami habiskan. Tapi malu bukan kepalang, duit kami berdua ternyata kurang. Total gorengan yang kami makan terlalu banyak, hingga kuberanikan diri untuk menawar harganya. "Wah, boleh kurang dong Pak, kan aku langganan disini? kalau boleh harganya di diskon" ternyata dia menjawab tak ada diskon, tak ada pengurangan harga. Menurutnya harganya sudah sangat murah. "Wah gak bisa dek, harga gorengan sama kopi ya seperti biasanya," ujar Kariono yang bersikeras tak mau daganganya ditawar. Akhirnya kuputuskan untuk mengakui kalau sebenarnya duit kami kurang, tapi itu pun tak membuatnya memberi diskon. "Kalau gitu biarlah masuk hutang saya Pak, besok sebelum berangkat kuliah pagi saya bayar," ucapku, menyerah.

Tapi betapa kagetnya ketika ternyata Kariono sebenarnya berniat baik pada Kami. Dia hanya tak mau harga makanan yang dijualnya turun. "Loh, siapa yang suruh kalian hutang? gini aja, harga tetap sama, nah kekuranganya biarlah dihitung sebagai amal saya ke kalian, jadi saya beramal seharga kekurangan makanan kalian," ujarnya. Kami pun lega, tapi jawaban itu juga yang membuat Kami berdua berfikir dalam.

Ide beramal model apa yang ditunjukan Kariono ini? wah, benar-benar seperti Abunawas yang bisa dengan kecerdikanya "mengakali" Tuhan, mendesain sebuah kebaikan didalam kekurangan yang dimiliki. Kenakalan peradaban yang positif ditunjukan oleh orang-orang ini. Maka dari itu, -semoga tak berlebihan- jika aku sebut mereka Manusia yang mampu melewati mistar sejarah dengan kebaikan, dengan kemampuannya memahami hidup lebih unggul dari kebanyakan Manusia lainya.

Pemahaman akan hidup dari orang-orang sederhana, dari pedagang yang sama sekali tak pernah dilihat, ternyata lebih maju dari mereka yang kita pandang sebagai kaum intelekt. Strata sosial yang tinggi, jabatan yang tinggi, sebagian besar justru membuat manusia melupakan hakikat hidup yang sebenarnya. Sepertinya memang aku harus merenung, dan kisah ini kusampaikan ke kalian semua yang saat ini membaca sedikit dari apa yang kualami dari manusia-manusia yang melebihi jamanya, manusia yang beberapa langkah lebih maju dari peradaban kita hari ini.

Dan ada satu pesan dibalik yang kusampaikan, bahwa jangan sekali-sekali kita menilai segala sesuatu dengan cara pandang linier. Seperti dalam tulisan salah satu murid Emha dibuku berjudul "The Peci Kode" satu buku plesetan dari "Davinci Code" karya Dan Brown. Dalam The Peci Kode, manusia sebenarnya memiliki empat cara berfikir yang berbeda. Pertama, gaya berpikir linier. Kedua, gaya berpikir zig-zag. Ketiga, gaya berpikir spiral. Dan, keempat, gaya berpikir siklikal.

Pertama, orang dengan gaya berpikir linier akan "nabrak-nabrak". Ibarat mobil yang jalannya lurus terus, nggak belok-belok maka dia akan menabrak apa saja yang ada di depannya. Orang dengan gaya berfikir seperti ini banyak kita temui. Mereka yang menilai dari keadaan fisik semata.

Kedua, orang dengan gaya berpikir zig-zag adalah gambaran orang yang ling-lung, plin-plan, atau mencla-mencle. Ketiga, orang dengan gaya berpikir spiral. Adalah tipe orang dengan gaya berpikir muter-muter nggak jelas. Kalau ditanya satu hal dia tidak langsung menjawab pada pertanyaan inti namun muter ke mana-mana dulu baru pertanyaan yang kita ajukan dia jawab. Biasanya politisi memiliki gaya Spiral.

Keempat, orang dengan gaya berpikir siklikal seperti orang thowaf, atau kalau kita pinjam bahasa agama orang dengan gaya berpikir siklikal adalah orang dengan gaya berpikir kaaffah atau menyeluruh. Nah, cara berfikir yang terakhir ini sepertinya perlu kita kembangkan untuk menilai seseorang dan memahami hakikat hidup yang sebenarnya. Karena jika kita melihat lebih jauh, sesungguhnya orang baik ada dimana-mana.

No comments:

Berita Batam