"Kalian tak pernah bisa bilang ‘tidak’, Lantaran kelaparan yang menakutkan, Kemiskinan yang mengekang" begitu tulis WS Rendra dalam sajaknya berjudul Pelacur-pelacur Jakarta. Seolah dia menunjukan bahwa fenomena pelacuran memang didominasi keterdesakan ekonomi dan ketidak becusan pemerintah dalam menjamin kesejahteraan rakyatnya.
Berbicara soal pelacur, pelacuran atau mungkin kita gunakan idom lain yang lebih elegan, prostitusi misalnya, pikiran kita akan lansung mengarah ke doktrin agama. Bahwa laku ini sangat dilarang, ini jinah, ini dosa, ini menakutkan, ini sangat tabuh. Tapi, dalam kitab suci agama sendiri banyak menceritakan bahwa sejarah takkan bisa merubah modus dosa "pelacuran". Dari jaman kebejatan Fir'aun hingga jaman modern saat ini, tak sedikit pun menggerus keberadaan mereka.
Suatu ketika, Noel Coward menulis dalam bukunya berjudul Blit the Spirit terbitan London, 1942, "Saya sama sekali tak menganggap prostitusi itu merusak, tapi sangat dan amat sangat membosankan''
Ya, seks adalah suatu aktivitas yang membosankan, karena tidak ada hal yang lain, hanya itu dan itu, lagi dan lagi, sementara di Kota kelahirannya, satu persatu rumah bordil tumbang, berganti dengan restoran fast food yang mulai menjamur.
Sementara di negeri kita, jajanan Seks tak mungkin tergusur, entah kapan, prostitusi berkedok tempat hiburan, prostitusi berkedok panti pijat, masih cukup marak. Bahkan di Batam, sebuah lokasi prostitusi di Sintai, Tanjunguncang diberi lebel 'Pusat Rehabilitasi Perempuan'. Rehabilitasi yang seharusnya ada proses memperbaiki sesuatu yang masih dianggap menyimpang, ternyata dalam prakteknya justru menciptakan para penyimpang-penyimpang yang baru. Para pelacur-pelacur baru.
Prostitusi, meski membosankan, namun suguhan yang satu ini -praktek mengeksploitasi tubuh, telah menjadi bahan konsumsi manusia sejak Tahun Masehi belum ada. Sejak jaman Prasejarah, sejak manusia mengenal lawan jenisnya. Bahkan dalam sebuah catatan sejarah, Para Fir'aun di Mesir kerap kali menyuguhkan tontonan 'erotis' tari perut untuk menyambut tamu-tamu agung, serta acara khusus kerajaan pada saat itu. Hingga berabad-abad setelah itu, keindahan tubuh wanita meski membosankan, namun masih tetap ada peminatnya, dengan kata lain, aktivitas ini membosankan tapi juga di butuhkan.
Kembali mengutip kalimat Coward, bahwa prostitusi memang mudah diciptakan, mudah dicari, mudah dibeli, tapi mudah juga hambar. Sebab ia praktis hanya sebuah repetisi. Fokusnya tetap: bukan manusia dengan karakter berbeda dan gejolak jiwa yang berubah, melainkan organ tubuh yang sama bentuknya dan mudah diramalkan geraknya, terbatas variasi dan kemungkinannya.
Barangkali agama juga punya alasan tersendiri kenapa hal ini dilarang? namun pernakah alasan itu di kemukakan secara tersurat dalam ayat-NYa? tidak-tidak, saya tidak menemukan hal itu, semua hanya di katakan bahwa hal itu 'dilarang' dan 'Dosa' tapi alasan kenapa bisa menjadi 'Dosa' tidak pernah disebutkan. Ah biarlah, yang jelas, manusia membutuhkan sesuatu untuk membangkitkan hasrat erotisnya, dan karya-karya cabul - seperti halnya fantasi sendiri- digunakan meski hanya beberapa menit, beberapa jam. Dan itu berjalan, seiring perjalanan sejarah manusia hidup. Namun sekali lagi, tulisan ini bukan saya tujukkan untuk menyimpulkan bahwa sejarah hanya syahwat dan cabul.
Di puing Pompei, kota yang tertimbun lahar di Gunung Vesuvius pada tahun 1979 di temukan sejumlah besar fresco, mosaik, dan patung yang menggambarkan laku seksual secara terang-terangan. Ada mosaik gambar Satir menyetubuhi peri, adapula mural dewa Merkuri dengan Zakar yang mengekar setengah meter. Peninggalan itu barang kali melukiskan budaya yang ada disana pada jamannya. Seks, laku cabul bisa jadi membosankan, bertentangan dengan kaidah sosial, laku kesopanan, namun dalam konteks lain, senggama tidak hanya berhubungan dengan bisnis, mungkin juga karena keterdesakan, seperti apa yang dituliskan Rendra dalam puisinya yang menyindir para wakil rakyat di Senayan.
Indonesia memang bukan seperti Bangkok yang terkenal dengan Thai Girls Show-nya, namun negeri kita lebih hebat dari itu, kita terkenal dengan pelacuran-pelacuranya yang senantiasa meludahi para pemuka agama. Akankah kita nafikan, bahwa di negeri ini memiliki aset pelacuran terbesar di Asia Tenggara, yakni Dolly Surabaya. Bahkan konon kabarnya negeri ini juga mengekspor pelacur yang menyesaki kawasan Geylang Singapura. Apa lacur, ini semua sudah terjadi.
Mari kita sedikit mengamati apa yang ada di Ibu Kota, sebuah lambang persetubuhan terbangun besar, dan selalu kita banggakan. Bangunanya menjulang, seolah mengejek rumah Tuhan yang ada disekelilingnya. Saya mungkin salah satu dari manusia paranoid yang terobsesi dengan sejarah-sejarah tak biasa. Sesuatu yang jarang dibicarakan, namun kenyataanya ada di sekitar kita. Monas, salah satunya yang ingin saya kaitkan dengan laku senggama dan prostitusi di Negeri ini.
Menurut sejarahnya, bangunan setinggi 128,70 meter ini dibangun pada era Presiden Sukarno, tepatnya tahun 1961. Awalnya, sayembara digelar oleh Sukarno untuk mencari lambang yang paling bagus sebagai ikon ibukota negara. Sang Presiden akhirnya jatuh hati pada konsep Obelisk yang dirancang oleh Friederich Silaban. Namun saat pembangunannya, Sukarno merasa kurang sreg dan kemudian menggantinya dengan arsitek Jawa bernama Raden Mas Soedarsono yang ternyata pengikut aliran Mason, di Indonesia kala itu terkenal dengan nama Vrijmetselaaren. Aliran itu sendiri sejatinya sudah dibubarkan pada Februari 1961, dengan terbitnya Lembaran Negara nomor 18/1961, tentang keberadaan Freemasonry di Indonesia. Lembaran Negara ini kemudian dikuatkan oleh Keppres Nomor 264 tahun 1962 yang membubarkan dan melarang Freemasonry dan segala “derivat”nya seperti Rosikrusian, Moral Re-armament, Lions Club, Rotary, dan Baha’isme. Sejak itu, loji-loji mereka disita oleh negara, salah satunya bangunan Adhucstat, yang kini dijadikan Gedung Bappenas.
Monas, bangunan berbentuk Obelisk itu akhirnya rampung, setelah terlebih dahulu Sukarno dijatuhkan.
Dalam catatan Dan Brown, Obelisk adalah simbol persetubuhan suci kaum mason bebas atau dalam konspiratus -pecinta konspirasi, biasa disebut Freemason. Lambang tersebut juga ada di depan Pyramid Giza di Mesir, bahkan di depan gedung Putih Amerika Serikat. Namun yang membedakan, di Indonesia bangunan Obelisk (Monas) diletakkan di tengah-tengah rumah Tuhan. Bangunan itu dikelilingi Dua Gereja, dan Masjid Istiqlal. Seolah lambang senggama itu menghina dan merendahkan Tuhan. Dia berdiri tegak, menjulang lebih tinggi, menodong langit dengan keangkuhanya. Kita dengan atau tanpa kesadaran, sesungguhnya telah mencintai laku senggama, namun sampai kapan kita menyangkal keberadaanya? memarginalkan pelaku-pelaku didalamnya, yang tiap saat terhimpit kebutuhan. Ancaman kelaparan, sudah cukup menodong mereka, belum lagi cercaan dari manusia-manusia yang berlagak suci disekelilingnya. Aku sedang membayangkan para pelacur itu berkata,"Sudah cukuplah, monas mengganti dendamku pada takdir, karena mungkin Dosa kami saja tidak akan diterima,"
Magid, Batam, Jum'at 06 Mei 2011
Artikel ini juga dipublikasikan di http://batamtoday.com/detail_berita.php?id=3731
Berbicara soal pelacur, pelacuran atau mungkin kita gunakan idom lain yang lebih elegan, prostitusi misalnya, pikiran kita akan lansung mengarah ke doktrin agama. Bahwa laku ini sangat dilarang, ini jinah, ini dosa, ini menakutkan, ini sangat tabuh. Tapi, dalam kitab suci agama sendiri banyak menceritakan bahwa sejarah takkan bisa merubah modus dosa "pelacuran". Dari jaman kebejatan Fir'aun hingga jaman modern saat ini, tak sedikit pun menggerus keberadaan mereka.
Suatu ketika, Noel Coward menulis dalam bukunya berjudul Blit the Spirit terbitan London, 1942, "Saya sama sekali tak menganggap prostitusi itu merusak, tapi sangat dan amat sangat membosankan''
Ya, seks adalah suatu aktivitas yang membosankan, karena tidak ada hal yang lain, hanya itu dan itu, lagi dan lagi, sementara di Kota kelahirannya, satu persatu rumah bordil tumbang, berganti dengan restoran fast food yang mulai menjamur.
Sementara di negeri kita, jajanan Seks tak mungkin tergusur, entah kapan, prostitusi berkedok tempat hiburan, prostitusi berkedok panti pijat, masih cukup marak. Bahkan di Batam, sebuah lokasi prostitusi di Sintai, Tanjunguncang diberi lebel 'Pusat Rehabilitasi Perempuan'. Rehabilitasi yang seharusnya ada proses memperbaiki sesuatu yang masih dianggap menyimpang, ternyata dalam prakteknya justru menciptakan para penyimpang-penyimpang yang baru. Para pelacur-pelacur baru.
Prostitusi, meski membosankan, namun suguhan yang satu ini -praktek mengeksploitasi tubuh, telah menjadi bahan konsumsi manusia sejak Tahun Masehi belum ada. Sejak jaman Prasejarah, sejak manusia mengenal lawan jenisnya. Bahkan dalam sebuah catatan sejarah, Para Fir'aun di Mesir kerap kali menyuguhkan tontonan 'erotis' tari perut untuk menyambut tamu-tamu agung, serta acara khusus kerajaan pada saat itu. Hingga berabad-abad setelah itu, keindahan tubuh wanita meski membosankan, namun masih tetap ada peminatnya, dengan kata lain, aktivitas ini membosankan tapi juga di butuhkan.
Kembali mengutip kalimat Coward, bahwa prostitusi memang mudah diciptakan, mudah dicari, mudah dibeli, tapi mudah juga hambar. Sebab ia praktis hanya sebuah repetisi. Fokusnya tetap: bukan manusia dengan karakter berbeda dan gejolak jiwa yang berubah, melainkan organ tubuh yang sama bentuknya dan mudah diramalkan geraknya, terbatas variasi dan kemungkinannya.
Barangkali agama juga punya alasan tersendiri kenapa hal ini dilarang? namun pernakah alasan itu di kemukakan secara tersurat dalam ayat-NYa? tidak-tidak, saya tidak menemukan hal itu, semua hanya di katakan bahwa hal itu 'dilarang' dan 'Dosa' tapi alasan kenapa bisa menjadi 'Dosa' tidak pernah disebutkan. Ah biarlah, yang jelas, manusia membutuhkan sesuatu untuk membangkitkan hasrat erotisnya, dan karya-karya cabul - seperti halnya fantasi sendiri- digunakan meski hanya beberapa menit, beberapa jam. Dan itu berjalan, seiring perjalanan sejarah manusia hidup. Namun sekali lagi, tulisan ini bukan saya tujukkan untuk menyimpulkan bahwa sejarah hanya syahwat dan cabul.
Di puing Pompei, kota yang tertimbun lahar di Gunung Vesuvius pada tahun 1979 di temukan sejumlah besar fresco, mosaik, dan patung yang menggambarkan laku seksual secara terang-terangan. Ada mosaik gambar Satir menyetubuhi peri, adapula mural dewa Merkuri dengan Zakar yang mengekar setengah meter. Peninggalan itu barang kali melukiskan budaya yang ada disana pada jamannya. Seks, laku cabul bisa jadi membosankan, bertentangan dengan kaidah sosial, laku kesopanan, namun dalam konteks lain, senggama tidak hanya berhubungan dengan bisnis, mungkin juga karena keterdesakan, seperti apa yang dituliskan Rendra dalam puisinya yang menyindir para wakil rakyat di Senayan.
Indonesia memang bukan seperti Bangkok yang terkenal dengan Thai Girls Show-nya, namun negeri kita lebih hebat dari itu, kita terkenal dengan pelacuran-pelacuranya yang senantiasa meludahi para pemuka agama. Akankah kita nafikan, bahwa di negeri ini memiliki aset pelacuran terbesar di Asia Tenggara, yakni Dolly Surabaya. Bahkan konon kabarnya negeri ini juga mengekspor pelacur yang menyesaki kawasan Geylang Singapura. Apa lacur, ini semua sudah terjadi.
Mari kita sedikit mengamati apa yang ada di Ibu Kota, sebuah lambang persetubuhan terbangun besar, dan selalu kita banggakan. Bangunanya menjulang, seolah mengejek rumah Tuhan yang ada disekelilingnya. Saya mungkin salah satu dari manusia paranoid yang terobsesi dengan sejarah-sejarah tak biasa. Sesuatu yang jarang dibicarakan, namun kenyataanya ada di sekitar kita. Monas, salah satunya yang ingin saya kaitkan dengan laku senggama dan prostitusi di Negeri ini.
Menurut sejarahnya, bangunan setinggi 128,70 meter ini dibangun pada era Presiden Sukarno, tepatnya tahun 1961. Awalnya, sayembara digelar oleh Sukarno untuk mencari lambang yang paling bagus sebagai ikon ibukota negara. Sang Presiden akhirnya jatuh hati pada konsep Obelisk yang dirancang oleh Friederich Silaban. Namun saat pembangunannya, Sukarno merasa kurang sreg dan kemudian menggantinya dengan arsitek Jawa bernama Raden Mas Soedarsono yang ternyata pengikut aliran Mason, di Indonesia kala itu terkenal dengan nama Vrijmetselaaren. Aliran itu sendiri sejatinya sudah dibubarkan pada Februari 1961, dengan terbitnya Lembaran Negara nomor 18/1961, tentang keberadaan Freemasonry di Indonesia. Lembaran Negara ini kemudian dikuatkan oleh Keppres Nomor 264 tahun 1962 yang membubarkan dan melarang Freemasonry dan segala “derivat”nya seperti Rosikrusian, Moral Re-armament, Lions Club, Rotary, dan Baha’isme. Sejak itu, loji-loji mereka disita oleh negara, salah satunya bangunan Adhucstat, yang kini dijadikan Gedung Bappenas.
Monas, bangunan berbentuk Obelisk itu akhirnya rampung, setelah terlebih dahulu Sukarno dijatuhkan.
Dalam catatan Dan Brown, Obelisk adalah simbol persetubuhan suci kaum mason bebas atau dalam konspiratus -pecinta konspirasi, biasa disebut Freemason. Lambang tersebut juga ada di depan Pyramid Giza di Mesir, bahkan di depan gedung Putih Amerika Serikat. Namun yang membedakan, di Indonesia bangunan Obelisk (Monas) diletakkan di tengah-tengah rumah Tuhan. Bangunan itu dikelilingi Dua Gereja, dan Masjid Istiqlal. Seolah lambang senggama itu menghina dan merendahkan Tuhan. Dia berdiri tegak, menjulang lebih tinggi, menodong langit dengan keangkuhanya. Kita dengan atau tanpa kesadaran, sesungguhnya telah mencintai laku senggama, namun sampai kapan kita menyangkal keberadaanya? memarginalkan pelaku-pelaku didalamnya, yang tiap saat terhimpit kebutuhan. Ancaman kelaparan, sudah cukup menodong mereka, belum lagi cercaan dari manusia-manusia yang berlagak suci disekelilingnya. Aku sedang membayangkan para pelacur itu berkata,"Sudah cukuplah, monas mengganti dendamku pada takdir, karena mungkin Dosa kami saja tidak akan diterima,"
Magid, Batam, Jum'at 06 Mei 2011
Artikel ini juga dipublikasikan di http://batamtoday.com/detail_berita.php?id=3731
No comments:
Post a Comment