Thursday, June 4, 2009

Kembali Kusaksikan Pulau Tak Bernama

Kembali kusaksikan pulau tak bernama
kala mentari baru saja terhentak dari tidur
dan burung-burung berarak ke selatan
''Tuhan, inikah anugrah? Alam yang selalu hadir dalam tiap mimpiku?'' kataku dalam hati.

Pulau tak bernama, ditengah lautan tak membujur
Mungkinkah kau menyimpan kesumat?
Dalam doa, dalam tenangmu, dalam pesonamu
Tepat, ketika kakiku menginjak sebagian tubuhmu

Aku terbaring, garing, ketika ketakjuban tak mampu kutahan
disudut pantai tak bernama, dalam pulau tak bernama
Akankah datang senja, beberapa jam lagi?
Saat kanvas langit memerah
Biarkan aku terbaring, dan aku garing dalam penantian panjang ini

Magid, antara Batam dan Tanjngpinang. 2009

Vredenberg Jogja

Seperti kembang api desember
meledak kesenangan dalam dunia tak ber-asa

''Siapa kalian, siapa aku, dan kenapa kita disini?'' tanya seseorang didepan Benteng Vredenberg 2006 lalu

''Jasad kosong yang digerakkan, kita disini karna sesungguhnya pikiran kita disini.'' jawabku.

Saat itu, hilir mudik manusia malam tak terasa menjenuhkan mata
dan aku, kau, mereka, siapapun tak mampu menghitung jejaknya
Seperti kita menghitung dunia
Berapa kali aku lupa? kamu lupa? mereka lupa?
Aku pun tak tahu,

Ingatan manusia seperti jejak kaki disini
Tumpang tindih, saling menghapus
Yang kokoh hanya mereka yang diam
setenang Vredenberg Jogja

Magid, Batam 2009

Budaya Tawuran di Indonesia

Dari Pelajar, Mahasiwa Hingga Masyarakat umum

Mirip film-film zaman kerajaan yang selalu menyuguhkan perang keroyokan. Adu fisik, dengan senjata seadanya, kemudian turun kejalan, dan melakukan aksi pengeroyokan terhadap kelompok lain yang diangap sebagai musuh. Atau dalam bahasa kerennya 'tawuran' , -cara ini banyak dijadikan sebagai solusi mengatasi persoalan. Ketika ingin memerdekakan Demak dari kekuasaan Majapahit, pasukan joko tingkir dengan semangat 'tawuran' akhirnya maju tanpa takut akan terluka ataupun mati. Akhirnya Demak Bintoro bediri sebagai kerajaan sendiri. Sepertinya kisah tawuran dan kekerasan tak berhenti disitu saja. Bahkan mungkin sudah menjadi bagian dari budaya Indonesia hingga masa kini. Entah, siapa yang harus disalahkan. Hidup sepertinya hanya menjadi ajang untuk adu kekuatan, tanpa kita tahu apa yang dibelanya, apa yang diperjuangkannya.

Masalah ini cukup kronis mendera bangsa kita. Tawuran sepertinya dijadikan satu-satunya solusi untuk mengatasi persoalan. Mulai dari anak SMP, SMA, Mahasiswa bahkan ada tawuran antar kampung yang melibatkan hampir seluruh warga kampung. Sepertinya bangsa ini sudah cukup sensitif akan segala macam problema, hingga dengan sedikit pemicu saja sudah bisa berimbas pada terjadinya saling serang antar kelompok, entah itu warga, entah itu pelajar bahkan mahasiswa yang notabene menjadi contoh generasi penerus bangsa ini. Dan ini terjadi kapanpun dan dimanapun di seantero negeri ini. Dari Papua hingga Ibu Kota Jakarta. Di Papua, hanya karna persoalan tanah ulayat, antar dua suku di pedalaman pulau itu harus saling serang. Di Makasar, juga sering kali mahasiswa terlibat tawuran dengan aparat, meski kadang hanya persoalan sepele (yang dibesar-besarkan). Yang terakhir, kemarin, di Jakarta Lagi-lagi mahasiswa UKI salemba terlibat tawuran, al hasil, kampus yang berada di tengah-tengah Ibu Kota itu harus terbakar gedungnya lantaran terpercik api dari bom molotov yang dilempar masa. Dan banyak lagi contoh lainya yang mungkin jika saya tulis disini tak ada habisnya. Intinya, kita harus jujur, bahwa Tawuran sepertinya sudah menjadi budaya di negeri ini. Apa yang salah?

Dalam teorinya, Tawuran adalah budaya kekerasan yang biasanya dipraktekkan oleh kelompok yang terbelakang. Baik itu dari sisi mental, pengetahuan bahkan mungkin sampai menjamah pada tataran religi. Tapi beda dengan yang terjadi di negeri kita, semua yang terlibat tawuran justru orang-orang terpelajar. Mereka yang mengenyam pendidikan! Tak jarang di TV kita saksikan mahasiwa terlibat tawuran, baik antar sesama mahasiwa atau mungkin dengan aparat penagak hukum. Bahkan jika anda masih ingat, beberapa tahun lalu, 'mungkin' seluruh dunia juga menyaksikan, bagaimana anggota DPR kita juga terlibat tawuran dalam sidang. Kita tentu tahu, mereka semua berasal dari latar belakang pendidikan yang diatas rata-rata, sisi agama yang bagus, atau paling tidak berlatar belakang 'tokoh' panutan dari daerah asalnya masing-masing. Tapi apa? ketika masalah sudah mencapai deadlock, maka adu jotos dianggap sebagai pilihan yang layak, saat emosi sudah tak terkontrol lagi. Dewan terhormat yang berisi orang-orang pilihan akhirnya menjadi cercaan banyak pihak.

Sepertinya budaya kekerasan tidak hanya dialami Indonesia saja. Di Amerika yang menjadi kiblat kebebasan berekspresi juga sering kali mendapat masalah dengan budaya kekerasan. Budaya-budaya kekerasan, di Amerika lebih banyak di picu oleh perlakuan yang tidak sewajarnya terhadap para penduduk migran. Sehingga pada akhirnya, penduduk migran membentuk koloni dan membuat perlawanan di jalan. Dan kelompok ini semakin banyak dengan beragam nama. Salah satunya Geng MS. Mereka seringkali terlibat tawuran dengan geng-geng lainya, bahkan tak jarang bentrok dengan aparat keamanan. Sikap represif dari penegak hukum, tak bisa dijadikan satu-satunya solusi. Ini terbukti, geng MS sampai saat ini tak bisa dimusnahkan dari Amerika meski sudah puluhan bahkan ratusan anggota geng di penjara dan di deportasi kenegara asalnya masing-masing. Geng MS semakin berkembang. Dari Amerika, Venezuela, Argentina sampai El Savador. Bahkan mereka sudah mencapai tingkat yang cukup mengkhawatirkan, karna bisa mengancam stabilitas keamanan dinegara-negara tersebut.

Berkaca dari contoh diatas, sepertinya kita harus memikirkan kembali, vaksin apa yang cocok untuk mengatasi budaya kekerasan di negara kita ini. Ketika tindakan represif aparat penegak hukum, justru menjadikan budaya kekerasan semakin tidak terkontrol, tentu harus kita temukan pendekatan lain yang lebih tepat dalam mengatasi persoalan ini. Saya sepakat dengan bahasa Goenawan Muhammad- yang sering menyebut bangsa kita ini bangsa yang sensitif. Atau mungkin lebih mendekati bangsa yang labil. Lebih dari 60 tahun merdeka ternyata tak membuat jiwa-jiwa nasionalisme warga negaranya semakin bertambah, yang muncul justru Cauvinisme yang semakin kental. Pada saat terjadi persoalan, bukan berfikir jauh soal bangsa dan negara, tapi kelompok dan individu. Sehingga ketika terjadi persoalan, sangat gampang untuk diprovokasi pihak-pihak lain yang tak bertanggungjawab.

Atau mungkin ada persoalan lain yang juga menjadi penyebab semakin menjamurnya budaya kekerasan-tawuran?

Sensitifitas dari masyarakat kita tentu ada banyak faktor yang mempengaruhi. Tingkat stress yang akut, juga bisa pemicu seseorang menjadi lebih sensitif dan cepat marah. Barangkali pemerintah juga harus melihat, mental dari warganya. Yang dipikirkan bukan hanya pembangunan fisik saja, melainkan pembentukan mental tak boleh di abaikan. Tingkat stress bangsa kita sudah mencapai titik yang mengkhawatirkan. Isu-isu berita yang membosankan, budaya infotaimen, harga sembako tinggi, gaji tak cukup, banyak buruh di PHK, PNS tak sejahtera, korupsi merajalela, kesehatan mahal, pendidikan mahal, dan segala macam persoalan ini menjadi bagian dari setiap kita yang tinggal di Indonesia. Sementara disisi lain, hidup di Indonesia tak ubahnya pulsa Wartel yang terus saja billingnya jalan, dari mata melek hingga jam tidur. Pada saat bangun tidur, kita cuci muka pakai air (harus bayar karna air di privatisasi), habis mandi, tentu ngopi (harga gula-kopi mahal), merokok (Cukai rokok 30 persen), setelah itu berangkat kerja. Sebelum sampai di tempat kerja kita sudah stress duluan. Bagaimana tidak, kemacetan dimana-mana. Jumlah kendaraan tak terkontrol, bahkan melebihi kemampuan badan jalan. waktu habis dalam kemacetan. Akhirnya apa yang terjadi? baru dijalan saja kita sudah stress, begitu sampai dikantor, semangat kerja menurun. Dan ini terjadi tiap hari, tiap individu, apalagi mereka yang berdomisili di jakarta. Yang akhirnya penyakit stress menumpuk 'akut'! Siapa saja bisa lebih sensitif, lebih cepat marah! jadi wajar, jika pada zaman seperti sekarang ini budaya tawuran masih ada di kota metropolis seperti jakarta.

Berita Batam