Tuesday, March 17, 2009

Aku Datang, Aku Bicara dan Aku Menang

Seni berbicara didepan umum adalah sangat tua usianya. Para rasul dan Nabi-Nabi terdahulu, memulai ajarannya dengan cara ini. Dari dulu sampai sekarang public speaking masih menjadi salah satu bagian kebudayaan umat manusia yang cukup dominan dalam menyampaikan informasi, menjelaskan ide-ide, menyebarluaskan ilmu pengetahuan kemudian mempengaruhi untuk mencapai tujuan tertentu. Public speaking atau sering disebut dengan pidato adalah ucapan yang tersusun baik dan ditujukan kepada orang banyak. Kepandaian berbidato sering disebut dengan rhetorika atau oratori, sedang orangnya disebut dengan rhetor atau orator. Berbicara dudepan publik merupakan seni percakapan yang didukung dengan penggunaan bahasa yang baik dan wawasan keilmuan yang luas, dan orator yang baik adalah mereka yang bisa menguasai publik atau pendengarnya.

Dihadapan senat Romawi, pada tahun 47 SM, Julius Caesar berujar dengan bahasa latin, '' Veni Vidi Vici!'' yang artinya aku datang aku lihat dan aku menang. Semboyan itu merupakan gambaran atas kemenangan Julius dalam pertempuran Zela dan berhasil menaklukan raja Pharnaces II dari Pontus. Kalimat yang diucapkan Julius tersebut kemudian di ikuti Napoleon Bonaparte pada abad pertengahan. Napoleon menggunakan semboyan tersebut untuk menggerakkan revolusi di Prancis. Hasilnya, Napoleon pada 1799 -1815 berhasil menguasai Prancis sekaligus menaklukan kerajaan lain seperti, Napoli, Sardinia, Spanyol hingga Prusia (daerah antara Rusia dan Polandia).

Ternyata pada periode berikutnya, orang menganggap bahwa perubahan dan kekuasaan tidak dapat diraih dengan hanya dilihat, tapi dengan komunikasi yang dasyat dalam rangka menguasai publik, berbicara memberikan beragam alasan untuk mencari sebuah kepercayaan. Membakar semangat dan kemudian menggerakkan semangat yang sudah tercipta untuk tujuan akhir tertentu. Untuk itu, Hitler yang juga tokoh Partai Nazi merubah semboyan itu dengan mengganti kata 'lihat' dengan kata bicara. Jadi menurut Hitler, jika seseorang ingin memegang dunia dalam genggaman tangannya yang perlu dilakukan adalah berbicara dan berbicara tak perlu proses penyadaran. ''Aku datang, Aku Bicara, Dan Aku Menang''. Hasilnya, Hitler pada 1934 berhasil menjadi Fuhrer (pemimpin) besar di Jerman.

Proklamator Indonesia sendiri memuji kehebatan Hitler dan moto yang digembar-gemborkan itu. Kata-kata memang memegang peranan penting dalam sebuah revolusi. Sukarno telah membuktikan bagaimana kehebatan dari senjata kata-kata itu. Di Lapangan Ikada, saat teks proklamasi dibacakan, sukarno membakar semangat bangsa Indonesia. Dan disanalah, pekik Merdeka mulai menggema di seantero negeri.

Dalam bukunya, ''Indonesia vs Fasisme'' -Sukarno menilai, memang benar adanya pendapat Hitler jika seni berbicara sangat menentukan sebuah perjuangan. Berbicara lebih tajam dari peluru atau senjata apapun. Dengan kepandaian berbicara, Hitler mampu menggerakkan jutaan warga Jerman untuk berjuang demi dirinya. Hanya saja, menurut Sukarno, potensi tersebut tidak dibarengi dengan keimanan yang kuat, yang pada akhirnya membuat Hitler menjadi buas dan melepaskan norma-norma kodrati sebagai seorang manusia biasa. Hal itu diperparah dengan terobsesinya Hitler akan tulisan-tulisan Fredrik Nietze yang tak lain merupakan manusia anti tuhan. Dalam buku Zaratustra, Fredrik Nietze menganggap tuhan telah mati, dan digantikan dengan zaratustra sang manusia unggul. ras yang unggul dari manusia-manusia lain di muka bumi ini. Hitler menganggap mitos Zaratustra yang ditulis dalam buku Fredrik Nietze adalah dirinya, rasnya, dan bangsanya. Tanda alam misalnya rambut pirang, mata biru badan tegap, hidung mancung ciri bangsa Aria dari Jerman adalah paling unggul dibanding bangsa lain, seperti tulisan Nietze. Ini yang membuat Hitler pada akhirnya hancur. Namun Sukarno tetap memuji kepandaian Hitler dalam berbicara dan mempengaruhi penduduk Jerman pada jamannya.

Perbedaan lain, seni bicara yang diterapkan Hitler adalah seni pukul rata dan hanya terfokus pada proses menggerakkan objek, yakni manusia. Menurut Hitler, masyarakat tidak perlu sadar, yang penting bisa digerakkan. Penduduk tak perlu pandai, yang penting bisa digerakkan. Karna itu, Sukarno menganggap perbedaan mendasar inilah yang membedakan hasil dari Revolusi di Indonesia dan Jerman pada jaman Fasis berkuasa. Indonesia menurut Sukarno, meski membakar semangat lewat kata-kata, tapi pondasi kesadaran tetap dibangun. Masyarakat tak hanya digerakkan, tapi dibuat pandai terlebih dahulu. Dibuat mengerti, pada saat sudah mengerti, dengan sendirinya mampu bergerak ketika melihat kesalahan-kesalahan yang harus dikoreksi. Pendidikan dan keimanan adalah aset jangka panjang yang perlu ditanamkan pada masyarakat. Jadi bukan hanya sebagai objek untuk mencapai sebuah kekuasaan.

Pada masa perebutan kemerdekaan Indonesia, telah dibuktikan bahwa seni berbicara memang lebih tajam dari senjata apapun. Kita semua tahu, pada saat tentara sekutu mencoba merebut kembali Indonesia dengan menduduki Kota Surabaya, Bung Tomo dengan sigapnya membakar semangat arek-arek Suroboyo dengan orasinya melalui RRI. Hasilnya, dengan senjata ala kadarnya arek-arek Suorboyo melakukan perlawanan. Semangat yang sudah memuncak, pada akhirnya membuat tentara sekutu kualahan, bahkan seorang Jendral dari pihak sekutu dikabarkan hilang. Jendral Malabi tewas, dan Surabaya berhasil dipertahankan dari serbuan tentara sekutu.

Saat ini, seni berbicara banyak diterapkan para Calon Legislative (Caleg) dalam rangka menuju kursi dewan yang sedang diperebutkan. Hanya dengan berbicara Para calon wakil rakyat itu mulai berlomba untuk meyakinkan massanya, dengan beragam visi dan cita-cita yang nanti bakal mengantarkannya ke Gedug Gurindam jiwa. Masa-masa kampanye merupakan masa orang berbicara. Banyak media yang digunakan untuk berbicara menyampaikan visi dan cita-cita yang akan diusungnya tersebut. TV, radio-radio adalah sarana yang paling laris digunakan. Masyarakat hanya melihat, mendengar, kemudian menimbang tentang baik dan buruk pesan yang disampaikan tersebut. Semoga saja, para wakil rakyat yang nantinya terpilih merupakan sosok yang benar-benar amanah terhadap kepercayaan yang sudah diberikan. Tidak hanya menjadikan masyarakat sebagai objek untuk mencari sebuah kekuasaan.

Berita Batam