Tuesday, March 10, 2009

Awas! Isu Fatwa Golput Telah Dibiaskan

''Media cenderung Tidak Adil Mengutip Fatwa Sensitif''

Sebagaimana kita ikuti dalam berbagai berita dan talkshow di media massa, telah terjadi wacana dan perdebatan atas fatwa MUI tentang tidak memilih di dalam Pemilu alias Golput. Satu hal yang perlu kita cermati dalam berbagai wacana dan perdebatan tersebut, penulis melihat sepertinya telah ada pembiasan informasi atau mungkin kesalahan komunikasi sehingga umumnya publik menangkap bahwa seolah-olah MUI mengeluarkan fatwa Golput Haram secara mutlak. Padahal, isi fatwa tersebut (menurut pemahaman penulis) tidaklah demikian.

Oleh karena itu, perlu sosialisasi fatwa MUI tersebut secara langsung oleh para ulama dan para muballigh dan siapa saja yang masih ingin berpegang teguh kepada agama Allah dalam menjalani kehidupannya. Isi Fatwa MUI tentang Pemilu atau yang disebut-sebut sebagai fatwa golput telah dikutip Bulletin Madani edisi sebelumnya. Pertama, poin empat dari fatwa tersebut berbunyi: Memilih pemimpin yang beriman dan bertakwa, jujur (siddiq),terpercaya (amanah), aktif dan aspiratif (tabligh), mempunyai kemampuan (fathonah), dan memperjuangan kepentingan umat Islam, hukumnya adalah wajib.

Artinya, menurut fatwa MUI tersebut, umat Islam dalam pemilu nanti wajib memilih calon Imam dan wakil rakyat yang memiliki karakteristik: beriman dan bertaqwa, jujur, terpercaya, aktif dan aspiratif, mempunyai kemampuan, dan memperjuangkan kepentingan umat Islam.

Poin ini justru tidak terekspos dengan baik di media massa sehingga tidak menjadi opini umum yang ditangkap oleh publik. Padahal poin inilah yang justru diperlukan umat sebagai petunjuk untuk memilih calon presiden (calon Imam/kepala negara) dan calon wakil rakyat. Penulis menilai, selama ini telah terjadi pembiasan. Sebab karakteristik media masa saat ini selain menyampaikan informasi, juga terkadang dalam penyampaian ataupun pengambilan angel tulisan selalu menginginkan sesuatu yang berpolemik, sehingga mencari celah dari sebuah informasi kira-kira bagian mana yang bisa dipolemik-kan. Hal itu juga yang membuat isi dari fatwa yang sebenarnya bagus akhirnya menjadi bulan-bulanan hujatan, bahkan oleh umat sendiri.

Dalam pandangan syariat Islam, melaksanakan hukum wajib berarti pelakunya dipuji dan diberi ganjaran pahala oleh Allah SWT. Sebaliknya, yang tidak melaksanakan kewajiban itu tercela, berdosa, dan akan mendapatkan balasan siksa Allah SWT.

Oleh karena itu, poin mewajibkan umat Islam memilih calon Imam dan wakil rakyat dengan kriteria di atas itu tidaklah main-main. Tentu harus dengan dasar yang kuat. Dalam fatwa MUI tersebut disebutkan antara lain dasar penetapanfatwanya dengan firman Allah SWT: ''Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (n ya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya),jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya'' (QS. An Nisa: 59).

Perintah Allah SWT mewajibkan kita taat kepada Ulil Amri dalam ayat di atas mengandung pengertian kewajiban untuk mengangkat ulil amri yang wajib ditaati itu. Sebab, kalau mengangkat ulil amri tidak wajib, maka keberadaan ulil amri itu tidak wajib pula. Dan bila ulil amri itu tidak wajib adanya, artinya bila boleh saja umat Islam tidak punya ulil amri, maka perintah Allah yang mewajibkan taat kepada ulil amri menjadi tidak bisa diamalkan. Ini tentu tidak bisa dibenarkan. Oleh karena itu, dipastikan bahwa umat Islam wajib memilih atau mengangkat ulil amri yang bertugas dan bertanggung jawab mengurus urusan kaum muslimin. Dan ulil amri yang diangkat kaum muslimin itu wajib menerapkan hukum
syariah dengan standar kebenaran Al Quran dan Sunnah Rasulullah saw. sehingga bilamana dalam pelaksanaan hukum Allah SWT dalam pemerintahannya ada perselisihan antara ulil amri dengan rakyat, maka diselesaikan di depan mahkamah yang akan mengatasi persoalan dengan merujuk kepada petunjuk Allah dan Rasul-Nya yang ada dalam Al Quran dan Sunnah.

Ulil Amri yang wajib dipilih dan diangkat oleh kaum muslimin adalah ulil Amri yang beriman dan bertqwa, yakni yang taat kepada Allah dan Rasul-Nya dalam pemerintahannya. Oleh karena itu, tepat sekali Ijtima Ulama MUI di Padang Panjang mencantumkan -sebagai dasar penetapan fatwa- pernyataan Khalifah Abu Bakar dan Khalifah Umar pada saat pengangkatan mereka sebagai Khalifah yang berkuasa atas kaum muslimin.

Khalifah Abu Bakar r.a. berkata: ''Wahai sekalian manusia, jika aku dalam kebaikan maka bantulah aku, dan jika aku buruk maka ingatkanlah aku... taatilah aku selagi aku menyuruh kalian taat kepada Allah, dan jika memerintahkan kemaksiatan maka jangan taati aku. Pidato Khalifah Umar r.a.: ''Barangsiapa diantara kalian melihat aku dalam ketidaklurusan, maka luruskanlah aku''

Pada butir lima dari fatwa MUI tersebut adalah: Memilih pemimpin yang tidak memenuhi syarat-syarat sebagaimana disebutkan dalam butir 4 (empat) atau tidak memilih sama sekali padahal ada calon yang memenuhi syarat, hukumnya adalah haram. Butir ini juga tidak terkomunikasi dengan baik melalui media massa. Seolah-olah di media massa diopinikan bahwa tidak memilih alias golput secara mutlak adalah haram. Padahal yang diharamkan dalam butir ini adalah bila tidak memilih sama sekali alias golput padahal ada calon yang memenuhi syarat-syarat nomor empat yang sudah diterangkan di atas.

Untuk itu, penulis menilai bahwa dalam hal fatwa, sepertinya media masa telah berlaku tidak adil. Hanya mengutip berita dari penggalan saja, tidak sepenuhnya. Dan ini yang menjadikan isu fatwa golput menjadi bulan-bulanan dalam perdebatan, tidak hanya kalangan umat lain (yang tentu saja memiliki ketakutan jika islam bersatu menjadi kekuatan yang besar) namun juga dikalangan muslim sendiri yang sebagian besar tidak mengerti isi fatwa golput secara keseluruhan, karna memang proses sosialisasi yang minim, yang diperparah dengan ketidak adilan media masa yang hanya mengambil angel dari sebagian isi fatwa.

Berita Batam