Tuesday, October 16, 2007

(G30S/PKI) Misteri September Moovemen, Revolusi atau Horor?


''Ini resiko bapak karena menjadi partai politik. Untuk itu ibu selalu berpesan, agar saya tidak ikut kegiatan apa-apa selain hanya pramuka''

Cuplikan diatas adalah bagian dari cerita buram yang ditulis Svetlana Dayanti, anak tertua dari Bung Nyoto, ketua II Comite Central (CC) Partai Komunis Indonesia (PKI). Svetlana yang bisa diartikan sebagai cahaya (dalam bahasa rusia) itu memang nama yang indah, namun keindahan namanya tidak seindah kisah hidupnya pada saat itu. Ya, horor itu dimulai ketika Svetlana masih berusia 9 tahun, ketika itu ia terpaksa diasuh ibunya di dalam penjara. Tepatnya awal Oktober 42 tahun lalu, ketika slogan 'penyelamatan revolusi' dikumandangkan di radio-radio. Gelombang pembersihan aktivis Partai Komunis Indonesia (PKI) pun dilakukan. Tak ayal keluarga Nyoto lantas mengungsi di kawasan Gunung Sahari Jakarta pusat. Namun tentara yang mengejarnya pada saat itu berhasil menangkap, berikut seluruh keluarganya, tidak terkecuali Svetlana yang masih sangat belia.

Horor kembali berlanjut, ketika pada sebuah pagi yang datang menjelang, Svetlana terpaksa berpisah dengan ibunya, Soetarni yang harus di interogasi seputar kegiatan suaminya Bung Nyoto. Pada saat itu,datang seorang anggota militer menyuruhnya membersihkan sebuah ruangan di sudut bangunan yang dikenalnya sebagai asrama itu. Dengan mata yang masih polos Ia menyaksikan ceceran darah dilantai yang sudah mengering. Diatas sebuah meja terlihat cambuk ekor pari yang juga berlumur darah, serta beberapa orang yang keluar dari ruangan didekatnya dengan muka bermandikan darah segar. Pemandangan itu kerap kali ia saksikan, tiap ibunya di interogasi.

Dalam kondisi psikologis yang cukup tertekan, Svetlana mendapat wejangan dari ibunnya bahwa semua yang dialaminya adalah buah dari orang tuanya yang aktif dan menjadi tokoh penting partai politik. Ya, total selama 11 tahun ia dan ibunya merasakan hidup dipenjara, sementara bapaknya yang menjadi tokoh penting PKI, nasibnya tak jelas.

Kengerian akan horor Oktober 1965 dirasakannya tidak hanya pada saat ia harus menikmati bagaimana tertekannya hidup dalam penjara. Tapi juga beberapa tahun saat menghirup udara bebas. Nama indah pemberian bapaknya pun terpaksa harus di tanggalkan. Masa itu, bahasa simbol sangat berkuasa. Nama-nama Rusia banyak dipakai beberapa petinggi PKI sebagai nama anak-anak mereka. Seiap nama yang dicomot dari bahasa Rusia- secara asal-asalan dicap sebagai PKI. Itu yang membuat Svetlana harus menghilangkan namanya hingga 1987.

Jika Svetlana menikmati hidup di penjara pada saat usia 9 tahun, lain lagi dengan keluarga D.N Aidit. Ketika gelombang horor G30S berlansung, keluarga Aidit tercerai berai. Anak pertama dan kedua Ibraruri serta Ilya Meliani yang pada saat itu sekolah di Moskow ,Sama sekali tidak tahu bagaimana nasib ayahnya di tanah air. 25 November 1965 tepat setelah 3 hari penangkapan Aidit, Ibunya Dr Sutanti, harus dipenjara selama 11 tahun. Berita di koran Rusia pada saat itu cukup membingungkan. Ada isu soal Aidit yang melarikan diri ke Hongkong dengan Kapal selam, ada juga yang mengabarkan Aidit sudah mati. Hingga suatau hari, ketika utusan Partai Komunis Rusia memastikan kepadanya bahwa D.N Aidit sudah dibunuh. Pasca berita itu pun, kedua anak ketua CC PKI itu pun menjalani hidupnya dengan berpindah-pindah, dari Rusia, China,Makao, hingga pada akhirnya menetap di orly, sebuah daerah di selatan Paris sampai saat ini.

Rentetan horor G30S itu terus terjadi hingga selang waktu cukup lama. Puluhan, Ratusan bahkan mungkin ribuan kepala yang terpenggal, dari desa-desa di Jawa hingga Bali. Saat Radio menyiarkan perintah untuk menggantung Aidit, Brangus PKI hingga ke akar-akarnya, bahkan kalau di desa sampai 'Cindil-cindilny', gelombang horor itu pun berhembus. Suasana mencekam bagi mereka yang pada saat itu 'ikut' aktif dalam PKi. Penumpasan dilakukan, mayat diarak, bahkan di desa-desa banyak yang tidak mengerti apa-apa juga menjadi korban kebiadapan manusia pada saat itu.

Mencermati kengerian itu, saya teringat, ketika nenek saya bercerita bagaimana suasana desa kami di daerah Mojokerto. 'Cak Wangi' atau 'Singo Wangi' sebuah desa yang terletak di ujung timur kecamatan Mojokerto, awalnya dikenal sebagai desa dengan penduduk yang cukup ramah, mayoritas mereka berprofesi sebagai petani. Tepat berselang stau hari setelah pengumuiman untuk menumpas PKI sampai ke 'cindil-cindilonya' Desa itu pun berubah. Beberapa orang yang di tuduh ikut 'Genjer-Genjer' diamankan. Ya, pada saat itu masyarakat setempat cukup apolitis. Mereka tidak mengeti partai politik manapun bahkan PKI. Mereka hanya menyebut Partai Komunis itu dengan sebutan Genjer-genjer (lagu propaganda PKI).

'Orang-orang yang pernah ikut genjer-genjer di arak ke kantor lurah, dan sebagian di culik orang tak dikenal'' sebut nenek saya. Sebegitu dasyatnya horor itu berlangsung, hingga di desa yang letaknya cukup jauh dari pusat kota pun gelombang penumpasan terhadap aktivis PKI dilakukan. Hal ini tidak lain hanya karna dosa tuduhan 'coupt de etat' yang belum terbukti. Manusia sama sekali tak ada harganya. tak peduli pejabat, lurah, seniman, semua di eksekusi tanpa proses pengadilan. Bagi sebagian 'yang beruntung' diasingkan di Pulau Buruh. Tidak hanya PKI, organisasi yang berkaitan dengan partai itu pun di bersihkan. Beber4apa aktivis Lekra, Pramoedya Ananta Toer dan Joko Pekik juga turut merasakan buramnya jadi Tapol. Tapi apapun itu, adalah bagian dari sejarah bangsa Indonesia, mungkinkah pada korban bisa memaafkan tanpa melupakan kengerian horor G30S seperti kata Anhar Gonggong?

Dalang Gerakan 30 September Masih buram, perang urat saraf melalui tulisan pun dilakukan.
Kini 2007, tepat 42 tahun lalu, sejak horor itu terjadi, kabut misteri tragic movement itu masih menyelimuti. Adilkah jika 'hanya'disangka membunuh 6 orang jendral, lantas PKI harus membayarnya dengan puluhan, ratusan bahkan ribuan kepala pada pendukungnya?-hanya itu yang telah jelas.

Penelitian-demi penelitian yang dilakukan beberapa ahli sejarah, masih juga belum menyingkap siapa dan apa sebanarnya dalang Gerakan 30 September 1965 berikut tujuan pembrangusan PKI. Perdebatan pun berlanjut lewat tulisan. Puluhan buku mulai di terbitan, semua untuk menelisik dan membuka tabir diantara kabut yang menyelimuti horor itu. Ada versi kiri dan ada versi kanan. Pemerintah sendiri menjelaskan G30S dengan menerbitkan Buku putih karya Nugroho Notosusanto. Buku putih G30S yang diterbitkan pada 1978 itu sebenarnya disusun Nugroho 40 hari setelah kejadian, namun di terbitkan bersama dengan mantan Oditur Mahkama Militer luar biasa, Durmawell ahmad dan Sunardi D.M yang dikenal sebagai orang yang mengadili Sudisman, seorang Polit Biro CC PKI.

Sebelumnya, lelaki yang juga dikenal sebagai Kepala Pusat Sejarah ABRI itu juga pernah menerbitkan buku dalam versi bahasa inggris. Buku berjudul 'The Coupt attempt of the september 30 movement in Indonesia' di susun Nugroho bersama Ismail Saleh. Tidak hanya itu, Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban serta Dinas Sejarah Angkatan Darat juga menyusun buku serupa. Pada 1994 pun demikian, kantor sekretariat negara menerbitkan buku berjudul "Gerakan 30 September Pemberontakan Partai Komunis Indonesia, Latar belakang, aksi dan penumpasannya.

Dari versi resmi itu, PKI di tuding sebagai dalang gerakan 30 September. Oleh karenanya Orde Baru menamainya peristiwa itu sebagai G30S/PKI, hal ini untuk mempertegas bahwa PKI lah yang merancang gerakan tersebut. Melalui Biro Khusus yang di ketuai Sjam Kammaruzzaman, PIKi telah merancang aksi kudeta. Biro rahasia yang juga telah membina ratusan perwira militer 'berpikiran maju' ini bertanggung jawab langsung ke Pimpinan CC PKI, D.N Aidit. Puncaknya, saat 4 agustus 1965, saat Presiden Sukarno di kabarkan mengalami sakit, saat itu juga menurut versi buku ini, PKi mulai melancarkan aksinya. Pada waktu juga, Aidit yang berada di luar negeri bergegas pulang untuk menyiapkan langkah-langkah agar rencana perebutan kekuasaan tidak didahuloui Angkatan Darat. Saat itu memang hanya tinggal TNI-AD yang menjadi rival PKI, setelah beberapa partai Politijk di brangus. Masyumi dan Partai Sosialis Indonesia di brangsu karena beberapa tokohnya di tuduh terlibat pemberontakan PRRI. Sebagai pembenaran fakta tersebut, pengakuan Letkol. Untung Syamsuri tentang pembicaraannya dengan presiden Sukarno pun di jadikan bukti. Saat itu, dari pengakuan Untung, presiden sempat menanyakan apakah dirinya sanggup menangkap jendral-jendral yang berani menilai kebijakannya. ''Sanggup apabila di perinta'' jawab untung pada saat itu.

Penulis lain yang juga sepakat PKI adalah dalang Gerakan 30 September yakni Arnold C Brackman dalam bukunya The Communist Collapse in Indonesia (1969). Arnold berkesimpulan sama dengan versi pemerintah saat itu. Pada 1971 Majalah South East Asia menerbitkan arikel karya Guy J Pauker yang berjudul 'The Gestapu Affair of 1965' yang juga berkesimpulan bahwa PKI dalang utaman september movement.

Berbeda dengan penulis diatas, A Belensky dan B Ilichov yang berasal dari Rusia justru menuding Presiden SUkarno terlibat G30S. Dalam artikel yang di muat majalah kommunis diterbitkan pada 28 Oktober 1968, kedua penulis Rusia itu berpendapat bahwa G30S di gerakkan perwira angkatan darat yang di dukung AU. Dengan perhitungan Sukarno akan berpihak kepada kekuatan kiri. Karena di duga Sukarno mengetahui rencana itu, Kedua penulois asal Rusia ini justru menuduhnya sebagai dalang G30S. Kesimpulan akhir itu juga di kemukakan Anthonie C.A Dake dalam bukunya 'In the Spirit of the Red Banteng: Indonesia Communist Between Moskow and Peking 1959-1965 yang di terbitkan pada 1973. Buku lain juga di terbitkan Dake pada 1974. Buku berjudul 'The Davious Dalang Sukarno and the Socelled Untung Pucsch.Eyewitness report by Bambang S Widjanarko. Buku ini merupakan kesimpulan dari 14 berita acara pemeriksaan tim pemeriksa pusat kopkamtib terhadap kolonel KKO Bambang S Widjanarko, bekas ajudan Presiden Sukarno. Pendapat Dake ini di dukung peneliti lain David Lowenthal dari Jerman dan Jhon Huges.

Namun pada akhirnya tulisan Dake itu mendapat bantahan dari penulis dalam negeri. Ya, dia adalah mantan perwira Intel, Sugiarto Soerojo. Ia membantah adanya pembicaraan antara Presiden dengan Untung, melalui buku berjudul 'Siapa menabur angin akan menuai Badai'.
Tapi tidak semua peneliti sepakat dengan Teori dalang G30S adalah Sukarno dan PKI. W.F Wertheim, dalam tulisannya berjudul ''Suharto and Untung Coup- The Missing Link (1970) meragukan keterlibatan Sukarno dan PKI. dalam tulisan itu, Profesor W.F berkesimpulan bahwa Suharto yang melakukan Coupt de Ettat dengan cara merangkak dan memanfaatkan posisi Syam Kammaruzzaman yang di duga agen rangkap. Ia sedikir heran, karena posisi Soeharto pada saa itu adalah salah satu perwira paling senior, namun rumahnya tidak di datangi pasukan tak di kenal layaknya jendral-jendral yang di-lubang buaya-kan. Tuduhan ini di perkuat dengan kenyataan bahwa Syam merupakan kawan sekaligus mantan anak buah Suharto dari kelompok Pathok, dari Jogja pada masa perang kemerdekaan.

Penulis lain yang juga tertarik untuk mengurai sejarah G30S ini yaitu, Benedict R.O'G Anderson dan Ruth Macvey. Kedua penulis itu adalah ahli Indonesia asal Universitass Cornell, AS. Pada makalah berjudul ' A Parliminary analysis of the sptember movement' mereka menyimpulkan G30S adalah persoalan Internal AD. Namun pada saat bersamaan ada yang mencoba menyeret-nyeret PKI agar ikut terlibat. Tulisan ini terbit satu tahun berselangs etelah kejadian G30S, dan sempat gempar sebab versinya mirip dengan versi resmi yang di keluarkan PKI.

Peter Dale Scott dari california University, Berkeley, Amerika Serikat. Ia membuat analisis yang lebih mencengangkan. Dalam monogramnya, The United States and Overthrow of Sukarno, 1965-1967, ia mengemukakan bahwa dalam G30S Dinas Intelegen Rahasia dari negara digdaya Amerika Serikat cukup punya andil. Central Intelegency Agency (CIA) membantu Suharto untuk melakukan Kudeta dengan memanfaatkan G30S. Teori keterlibatan CIA makin meriah dengan munculnya dokumen-dokumen CIA yang di kumpulkan wartawati kantor berita State News Service Amerika Serikat, Kathy Kadane. Berbekal data terebus, Katy menuding CIA yang membuat rausan anggota PKI tewas. Sebab, pada 1965 CIA telah mengirimkan nama-nama tokoh PKI kepada aparat keamanan Indonesia.

Keterlibatan Intelegen Asing dalam G30S juga di uraikan Greg Paul Green dari Universitas New England Austria. Dalam bukunya berjudul 'The Genesis of Malaysia Confrontasi: Brunei and Indonesia, 1945-1965, ia menjabarkan bahwa dalam september movement dinas Intelegen Inggis MI-6 juga terlibat. dari analysa greg, Inggris cukup terusik, dan kepemimpinan SUkarno yang diangap membahayakan kepentingan negeri Inggris di Malaysia. Apalagi dengan kebijakan Ganyang Malaysia yangs empat di gembar-gemborkan Presiden pertama RI itu.
Dan belum lagi buku-buku tulisan keluarga mantan anggota PKI yang juga sudah banyak di terbitkan. Hal itu semua tidak lain adalah untuk mengemukakan kebenaran akan kejadian, kengerian, horor yang menyelimuti Indonesia pada saat itu.

Dengan beragam versi itu, apakah lantas apakah kita bisa menentukan fakta mana yang menjadi sebuah kebenaran. Ibarat melihat patung dari 4 sisi, masing-masing sisi tentu merupakan fakta tersendiri. Tapi benarkah fakta tergantung dari sisi, lantas kenapa beberapa orang diadili, kenapa tidak ada keseragaman dalam fakta 4 dimensi tersebut?-atau bahkan ada yang bilang bahwa fakta dan sejarah adalah milik penguasa, siapa yang berkuasa pada saat itu maka mereka berhak menentukan fakta dan sejarah mana yang benar. Atau kita hanya kelinci percobaan dua blok yang bertikai pada saat itu, yakni Amerika dengan Demokasi-nya dan Rusia dengan Komunisnya. Tapi apapun itu, kengerian horor G30s yang belum tersingkap sebaiknya tidak boleh kita lupakan. Saya ingat, 2 tahun lalu, sempat di gembar-gemborkan pemerintah akan melakukan rekonsiliasi terhadap masalah ini. Hal ini guna memberikan keadilan terhadap korban G30S, juga keluarganya yang masih mengalami perlakuan 'beda'. Gema untuk menuliskan sejarah yang sebenarnya dan perjuangan untuk menuntut haknya pada korban G30S itu semakin gencar tatkala Mantan Presiden RI KH Abdurahman Wahid akan mencabut Tap MPRS No.XXV/MPRS/1966 tentang pembubaran PKI dan pelarangan Komunis/Marxis/Leninis.

Ya, mantan Presiden yang juga cucu pendiri Nu itu memang dikenal cukup memiliki keprihatinan terhadap nasib orang-orang kiri di Indonesia. Pria yang akrab disapa Gus Dur itu juga sempat menulis kata Pengantar pada buku berjudul 'Aku Bangga jadi anak Komunis' yang di susun Dr Ribka Tjiptaning Proletariyati. Namun sayangnya, dukungan untuk mencabut Tap MPRS itu tidak kunjung terlaksana hingga waktu jabatan beliau lengser. Kini Potret buram sejarah Indonesia masih di selimuti misteri, meski sebagian tersirat seperti luka yang menganga persis korban yang pada saat itu menjadi bagian dari horor yang berlangsung.

Berita Batam